Sidang Panel II PHPU Gubernur: Semua Pihak Nilai Permohonan Pemohon Kabur Dan Tak Berdasar

JAKARTA, Sairei.Com – Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Panel II menggelar persidangan lanjutan perkara Nomor 328/PHPU.GUB-XXIII/2025 terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Provinsi Papua. Sidang yang berlangsung di Gedung MK Jakarta ini menarik perhatian publik, lantaran pemohon mengajukan dalil serius mengenai dugaan partisipasi pemilih yang disebut melebihi 100 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU).
Sejak awal persidangan, suasana berlangsung dinamis. Kuasa hukum pemohon berusaha meyakinkan majelis hakim bahwa telah terjadi pelanggaran fundamental yang berpotensi merusak integritas hasil pemilihan. Mereka mendalilkan adanya kesalahan perhitungan suara di 30 TPS pada 8 kabupaten/kota serta lonjakan partisipasi di 62 TPS yang disebut melampaui jumlah DPT. Atas dasar itu, pemohon meminta agar suara pihak terkait dikurangi dan sejumlah TPS dianulir.
Namun, pihak termohon—dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua—membantah dalil tersebut dengan menunjukkan bukti dokumen resmi hasil penghitungan suara.
Kuasa hukum KPU Papua, Ali Nurdin, memaparkan fakta penting bahwa lebih dari 98 persen salinan formulir C-Hasil dan D-Hasil telah ditandatangani para saksi maupun pihak
terkait. Menurutnya, tanda tangan tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk legitimasi bahwa proses pemungutan dan penghitungan suara berjalan sah dan diakui peserta pemilu di lapangan.
“Dengan bukti ini, petitum pemohon yang didalilkan tidak didukung posita. Artinya, posita permohonan dianggap tidak jelas atau kabur,” tegas Ali Nurdin di hadapan majelis hakim.
Sikap serupa juga disampaikan pihak terkait, yakni Tim Kuasa Pasangan Calon Nomor Urut 02, Mari-Yo, yang diwakili Bambang dan Heru.
Mereka menegaskan bahwa KPU Papua telah melaksanakan perintah MK untuk melakukan PSU pada 6 Agustus 2025, dan hasilnya sudah ditetapkan pada 20 Agustus 2025, dengan kemenangan pasangan Mari-Yo.
“Permohonan pemohon kabur atau obscuur libel. Petitum yang diminta sangat tidak sinkron dengan posita, sehingga tidak layak untuk dipertimbangkan,” ujar kuasa hukum pihak terkait. Mereka bahkan meminta majelis menjatuhkan putusan dismissal sesuai Pasal 42 PMK No. 02/2024.
Dalam pokok permohonan, pemohon sebelumnya mendalilkan bahwa Paslon 01 (BTM–CK) memperoleh 255.683 suara, sementara Paslon 02 (MDF–AR) meraih 259.818 suara dengan total suara sah 515.500. Pemohon menduga adanya perolehan suara “tidak wajar” hingga melebihi 100 persen DPT di sejumlah TPS. Mereka menuntut pengurangan suara masing-masing pasangan calon serta pembatalan suara di beberapa wilayah, termasuk 25 TPS di Kabupaten Keerom.
Namun, Bambang menilai dalil tersebut tidak konsisten. “Jika hampir seluruh saksi dari berbagai pihak sudah menandatangani dokumen hasil, maka sulit membenarkan adanya pelanggaran fundamental sebagaimana didalilkan pemohon,” ujar Tim Hukum pihak Terkait
Dalam kesempatan yang sama, Bawaslu Papua memberikan klarifikasi terkait tuduhan ketidaknetralan penyelenggara pemilu. Bawaslu menyatakan laporan yang diajukan pemohon telah ditindaklanjuti sesuai mekanisme, namun tidak terbukti sebagai pelanggaran baik secara administrasi maupun etik. Sejumlah laporan yang melibatkan pejabat publik juga telah diperiksa, tetapi hasilnya tidak memenuhi unsur pelanggaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Dengan demikian, tudingan pemohon mengenai ketidaknetralan penyelenggara dianggap tidak berdasar.
Majelis hakim menegaskan, sistem pengawasan berlapis—melibatkan saksi, pengawas, hingga dokumentasi resmi—merupakan instrumen penting menjaga integritas pemilu. Fakta bahwa 98 persen lebih dokumen hasil bertanda tangan saksi membuktikan adanya legitimasi yang kuat atas proses pemungutan suara.
Meski MK belum menjatuhkan putusan final, arah persidangan menunjukkan bahwa permohonan pemohon memiliki kelemahan mendasar. Putusan resmi akan diumumkan setelah MK merampungkan pemeriksaan menyeluruh.
Bagi publik, sidang ini menjadi pengingat bahwa dalil dalam perselisihan hasil pemilu harus dibangun di atas data dan dokumen sah, bukan sekadar asumsi. Apabila akhirnya permohonan ditolak, hal itu akan semakin menegaskan peran MK sebagai penjaga konstitusi sekaligus penjamin integritas demokrasi di Indonesia.(Redaksi)