Peryataan Pangkostrad dianggap lecehkan Harkat dan Martabat 4 Korban Mutilasi oleh anggota TNI di Timika
WAMENA, Saireri.com- Menurut salah seorang pekerja Kemanusiaan di Papua yang juga Pembela Ham Theo Hesegem bahwa pernyataan yang dilontarkan Pangkostrad di media sangat meremekan harkat dan martabat korban dan keluarga korban, Kasus pembunuhan dan mutilasi di Timika Provinsi Papua, tidak bisa dianggap kasus biasa dan kriminal. Pernyataan Pangkostrad dianggap sangat menyakiti keluarga korban Mutilasi, dan masyarakat Papua pada umumnya.
Pernyataan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Maruli Simanjuntak terkait pembunuhan disertai dengan mutilasi terhadap 4 Warga masyarakat sipil, di Kabupaten Timika kampung Pigapu Distrik Mimika timur, yang dilakukan oleh 6 anggota TNI bukan pelanggaran Ham berat. Sebagai pembela Ham dan Pekerja Kemanusiaan saya sangat sedih dengan pernyataan yang dilontarkan seorang jendral.
Semestinya pernyataan seperti ini, tidak dulu disampaikan karena situasi di Timika sendiri masih hangat, sedangkan keluarga masih berduka dan mereka sedang menunggu hasil penyelidikan dari berbagai pihak, apakah tindakan itu pelanggaran Ham berat atau tidak ? Tindakan ini tindakan yang sangat merendahkan harkat dan martabat Manusia yang diciptakan oleh Tuhan.
Kalau memang beliau sampaikan bahwa kasus pembunuhan disertai dengan mutilasi terhadap 4 Warga masyarakat sipil bukan pelanggaran Ham berat, kira-kira
Pangkostrad pakai teori atau perspektif apa ? Sebut, kasus memutilasi 4 warga sipil itu bukan pelanggaran HAM berat ? Menurut saya peryataan ini lebih menyakiti hati keluarga korban dan Orang Asli Papua
Menurut saya Pangkostrad, perlu belajari dan memahami Undang-Undang No 39 thn 1999 dan UU No 26 tahun 2000 biar supaya jelas siapa yang punya memiliki kewenangan untuk menetapkan status kasus tersebut pelanggaran Ham berat atau pelanggaran ringan, Undang-undang sangat jelas bahwa yang punya kewenagan hanya Komnas Ham yang bisa menetapkan pelanggaran ham berat atau tidak dan bukan kewenagan Pangkostrad.
Olehnya itu saya harap tidak bisa membuat kabur terkait mutilasi di Timika.
Kalau kita membaca UU No 39 tahun 1999 dan UU No 26 tahun 2000 sangat jelas bahwa pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga masyarakat sipil di Timika pasti ada unsur-unsur dugaan pelanggaran Ham.
Saya sangat harap kepada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Maruli Simanjuntak, pernyataan seperti ini seharusnya direm dan mempertimbangkan dulu sebelum melontarkan di media, bagimana yang akan ditanggapi keluarga dan masyarakat, saya rasa masyarakat lebih pintar dan sangat kritis dan sudah memahami Undang-undang.
Sebenarnya ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangam Pangkostrad antara lain.
1. Memancing Emosi Keluarga, korban, dan mengajak melakukan tindakan melanggaran hukum, karena pembunuhan disertai dengan mutilasi ini tindakan yang sangat keji, biadab dan tindakan yang tidak perikemanusiaan.
2. Pembunuhan disertai dengan mutilasi terhadap 4 warga masyarakat sipil tidak bisa dianggap biasa-biasa, kasus ini sudah menjadi sorotan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ).
3. Seharusnya Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Maruli Simanjuntak, seharusnya mengevaluasi kesalahan anak buahnya, karena pembunuhan terhadap 4 warga masyarakat sipil di Timika pada 22 Agustus 2022, oleh 6 anggota TNI adalah kurang adanya pembinaan khusus, dan menurut saya beliau gagal melakukan pembinaan terhadap anggotanya. Karena gagal dalam proses pembinaan sehingga anggota tidak menjalankan tugasnya dengan profesional mungkin 6 anggota TNI yang dimaksud tidak pernah menghafal 8 Wajib anggota TNI.
Menurut Direktur Yayasan Keadilan dan Keuruhan Manusia Papua, ( pembela HAM ) di Papua, dapat menjelaskan dan mepertegas kembali bahwa kita ketahui terkait kasus Pembubuhan disertai Mutilasi terhadap 4 warga masyarakat sipil di Timika masih dalam proses penyelidikan oleh karena itu semuanya harus ditunggu. Karena penyelidikannya sedang dilakukan oleh semua pihak. Sehingga pernyataan seperti yang disampaikan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Maruli Simanjuntak, seharusnya bersabar dan menunggu hasil penyelidikannya seperti apa ? Karena sampai hari ini keluarga korban belum mendapat informasih tentang kepastian hukum dari semua hasil penylidikan yang dimaksud apakah kasus yang dimaksud pelanggaran ham berat arau tidak ? Tetapi orang yang tidak waras saja bisa pastikan kasus tersebut.
Sepengetahuan saya keluarga Korban telah meredahkan situasi dengan baik, dan kendalikan diri dan menyatakan bahwa, mereka tidak melakukan tindakan membalas dendam, dan semua proses ini diserahkan kepada pihak yang berwajib dan meminta kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan lebih dalam sehingga dapat ketahui motif kejadiannya. Oleh karena itu semua pihak minta penaganan kasus tersebut terbuka dan transparan.
Saya mau tekankan sekali lagi bahwa Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Maruli Simanjuntak, tidak punya kewenangan untuk menentukan kasus pembunuhan disertai dengan mutilasi, terhadap 4 warga masyarakat sipil adalah pelanggaran ham berat atau tidak.
Saya berharap pangkostrad tidak bisa menganggap terlalu reme dengan kasus mutilasi terhadap 4 warga masyarakat sipil di Timika, lalu mengeluarkan stekmen yang tidak jelas yang nota bena bukan kewenagannya. Stekmen seperti inikan memancing Keluarga korban untuk melakukan tindakan melanggar hukum, dan keluarga pasti tidak senang dan marah.
Menurut saya Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Maruli Simanjuntak, perlu mengikuti perkembangan kasus Mutilasi terhadap 4 Warga masyarakat sipil, dengan bijaksana, karena terkait kasus pembunuhan dan mutilasi sudah menjadi demensi Internasional bukan lagi isu Nasional Republik Indonesia. Apa lagi sekarang sudah menjadi isu PBB perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kita tidak bisa pungkiri atau menganggap reme terkait dengan kasus pembunuhan dan mutilasi karena PBB sangat seriuas terhadap konflik pelanggaran ham di tanah Papua termasuk kasus mutilasi di Timika sudah menjadi Perhatian di PBB. Saya pikir beliau sudah mengikuti perkembagan kasus ini.
Sebenarnya pangkostrad perlu ketahui dengan benar bahwa masyarakat yang di bunuh dan dimutilasi di Timika sebenarnya memalukan wajah Negara Kesatuan Republik di mata Internasional, oleh karena itu seorang pemimpin menyampaikan stekmen tidak harus menyakiti hati keluarga korban.
Menurut pandangan saya tindakan 6 anggota TNI kurang adanya pembinaan dari unsur pimpinan terhadap anak buahnya, agar supaya anak buahnya melaksanakan tugas dengan Profesional, kejadian pemunuhan tersebut adalah kegagalan seorang pemimpin, saya pikir beliau tidak bisa mengukur dari sisi pelanggaran ham saja, tetapi juga dari sisi pembinaan juga perlu dioerhatikan dan menurut saya beliau gagal membina anggotanya.
Perlu ketahui Situasi di Papua dan kasus mutilasi sudah menjadi perhatian PBB Sehingga pada tanggal 12 September 2022, menyampaikan keprihatinan dari pejabat tinggi Hak Asasi Manusia PBB bahwa
“Di wilayah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) di Indonesia, kami mendapat laporan tentang kekerasan yang semakin intensif, termasuk bentrokan antara pasukan keamanan Indonesia dan kelompok-kelompok bersenjata yang mengakibatkan korban sipil dan korban jiwa yang tidak diketahui jumlahnya serta pengungsian internal. Saya terkejut dengan laporan baru-baru ini tentang potongan-potongan tubuh empat warga sipil asli Papua yang ditemukan di luar Timika di Provinsi Papua Barat pada tanggal 22 Agustus. Saya mencatat upaya awal Pemerintah untuk menyelidiki, termasuk penangkapan setidaknya enam personel militer, dan mendesak penyelidikan yang menyeluruh, tidak memihak, dan independen, serta meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab.” Pernyataan oleh Nada Al-Nashif, Penjabat Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia sebagai bagian dari pernyataan Global Update-nya yang membuka sesi ke-51 Dewan Hak Asasi Manusia PBB, 12 September 2022, Jenewa.
Pangkostrad perlu ketahui bahwa kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 Warga masyarakat sipil dari Nduga di Timika menantang wajah Negara dan menjadi beban bagi Pemerintah untuk menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh Pejabat Komisi Tinggi hak Asasi Manusia di PBB. Saya percaya Pemerintah Indonesia sedang sibuk untuk menjawab kasus ini, ko seorang jendral bicara santai-santai saja dan menganggap biasa-biasa ? Menurut saya apa yang disampaikan Pangkostrad adalah bagian dari rasa kekeliruan tetapi kita juga menghargai karena beliau juga punya hak menyampaikan pendapat dan membela anak buahnya. Tetapi juga perlu sadar dan ketahui bahwa yang menentukan pelanggaran ham berat dan ringan bukan kewenagan pangkostrad,Tetapi mengambil alih kewenagan Komnas Ham.