OTORITAS MORAL GEREJA JANGAN TERCEMAR OLEH POLITIK PRAKTIS

OTORITAS MORAL GEREJA JANGAN TERCEMAR OLEH POLITIK PRAKTIS

 

Saireri.Com Ditulis Oleh – Victor Buefar (Pemerhati Politik)

Pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. Andrikus Mofu, tentang penyelenggaraan PSU di Papua memang perlu kita cermati dengan jernih. Gereja sebagai lembaga rohani memiliki peran luhur untuk menjadi suara moral, bukan untuk terseret terlalu jauh dalam arus politik praktis.

Kita perlu ingat bahwa demokrasi modern hanya dapat bertumbuh sehat apabila setiap institusi menempatkan diri sesuai koridor masing-masing. Gereja adalah rumah iman, tempat umat mencari penghiburan, kebenaran rohani, dan tuntunan moral. Namun ketika gereja terlibat terlalu dalam dalam perdebatan politik praktis, ada 3 risiko besar menurut hemat saya :

1. Netralitas Gereja dipertanyakan, karena umat yang berbeda pilihan politik bisa merasa terasing di rumah imannya sendiri;

2. Otoritas moral Gereja melemah, sebab publik bisa menilai bahwa suara gereja bukan lagi suara kenabian, melainkan sekedar corong kepentingan politik tertentu;

3. Bahaya perpecahan umat, karena jemaat bisa terbelah dalam dukungan politik dan membawa konflik ke dalam tubuh gereja.

Oh iyah Filsuf politik Alexis de Tocqueville pernah berkata. Democracy and religion are strongest when they walk together, but each must stay in its own lane.” yang Artinya Demokrasi dan agama akan menjadi pilar kuat bangsa bila berjalan berdampingan, tanpa saling mengambil peran yang bukan wilayahnya.

Dalam konteks Papua, pernyataan keras dari Sinode GKI sebaiknya diarahkan bukan kepada persoalan teknis politik, apakah KPU atau Bawaslu adil atau tidak tetapi kepada seruan moral.

1. Mengajak rakyat papua untuk tetap tenang dan damai;

2. Mengingatkan penyelenggara pemilu agar takut akan Tuhan dalam menjalankan tugas;

3. Menjadi penengah yang membawa rekonsiliasi, bukan bagian dari polemik politik.

Oh iyah, Kritik memang penting, tetapi kritik politik harus disampaikan oleh partai politik, lembaga hukum, dan civil society, bukan lembaga rohani yang seharusnya menjadi ruang perlindungan semua umat tanpa melihat warna politiknya.

Sebagai masyarakat Papua, kita menghargai kepedulian Sinode GKI. Namun, kami juga berharap gereja tidak terjebak menjadi bagian dari kontestasi politik praktis. Gereja harus tetap menjaga marwahnya sebagai terang dan garam dunia, bukan sebagai pemain politik.

Dan pada akhirnya, politik akan selalu berubah, tetapi otoritas moral gereja harus kekal.

Solie Deo Gloria, Tuhan Yesus Memberkati Tanah Papua.

Redaksi Saireri.com

Redaksi Saireri.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *