Di lantik tepat 25 April 2025 hari Otonomi Daerah Penjabat Sekda Papua Ibu Suzana Wanggai di Harapkan Wakili Negara Sejahterakan Rakyat Papua

Ditulis oleh:Toni V. Mandawiri Wanggai
Pemerhati Sosial
Jayapura,Saireri.com – Ada Tanggal-tanggal yang hidup dalam sejarah, bukan karena seremoni, tapi karena nyala api yang pernah dinyalakan di dalamnya. tangal 25 April adalah salah satu tgl yang di kenang sebagai Hari Otonomi Daerah. Tgl ini bukan sekadar momentum, tapi memorandum sejarah tentang keberanian bangsa Indonesia untuk mendekatkan Kuasa pada rakyatnya, untuk Mendekonstruksi sentralisme yang menumpuk dan melahirkan ketimpangan.
Hari Otonomi Daerah ke-29 bukanlah hari yang layak ditutup dengan prosesi formalitas dan pidato basa-basi. Ini hari untuk berkaca, bertanya, dan bertutur ulang—tentang janji-janji yang pernah diucapkan ketika kewenangan diberikan kepada daerah: janji tentang pelayanan publik yang lebih cepat, kesejahteraan yang lebih merata, budaya yang lebih hidup, dan masyarakat yang lebih berdaya.
Namun di balik gegap suara gendang upacara dan lantunan lagu wajib, kita harus menelisik lebih dalam: Sudahkah Otonomi Daerah benar-benar menjadi jembatan menuju keadilan dan kesejahteraan? Atau hanya menjadi ruang baru untuk elitisme yang berkamuflase dalam lokalitas?
Negara yang Turun dari Singgasana
“Otonomi daerah bukan soal memindahkan kekuasaan dari Jakarta ke Jayapura, atau dari Pusat ke Tanah Papua. Ia adalah filosofi tentang bagaimana negara bisa turun dari singgasananya dan duduk bersama rakyat. Ketika pelayanan publik menjadi ritual birokrasi yang jauh, tapi menjadi sapaan hangat yang nyata.
Di tanah Papua, yang pernah lama menjadi bayang-bayang dalam sketsa pembangunan nasional, otonomi memberi secercah harapan. Bahwa Pemerintah daerah bisa bicara dalam bahasa lokal, bisa merespons dengan kecepatan yang tidak menunggu fax dari pusat, dan bisa membangun sekolah atau puskesmas tanpa berdoa menunggu dana alokasi khusus cair berbulan-bulan.
Tapi kita tahu, harapan kadang tak cukup kuat menembus dinding administrasi dan permainan anggaran. Banyak daerah, termasuk Papua, masih berjuang dalam labirin data, kekosongan SDM, dan tumpang tindih regulasi.
Listrik masih padam di banyak Distrik, Guru masih bolak-balik jalan kaki menyeberang sungai, dan Dana pembangunan sering tersendat bukan karena tak ada uang, tapi karena terlalu banyak pintu yang harus diketuk.
Kesejahteraan: Antara Potensi dan Politik Anggaran
Janji Otonomi adalah janji tentang kesejahteraan. Bahwa daerah boleh menggali kekuatannya sendiri—tanah yang subur, laut yang kaya, budaya yang mempesona, dan manusia yang kuat dan terampil. Tapi janji ini tak selalu menjadi kenyataan jika anggaran selalu tersedot untuk perjalanan Dimas dan membangun Kantor yang megah.
Di Papua, potensi bukan masalah. Ada Emas, Minyak, Kayu, Kopi, Ikan, dan pariwisata yang eksotis. tapi potensi tanpa pengelolaan hanya akan menjadi daftar panjang di naskah pidato kepala daerah.
Kesejahteraan bukan soal pembangunan yang dilihat dari jendela mobil, tapi tentang apakah anak-anak bisa makan tiga kali sehari dan punya buku tulis yang layak. Otonomi memberi alatnya, tapi tidak serta-merta menjamin hasilnya.
Dan di sinilah pentingnya sosok pemimpin daerah yang bukan hanya pandai mengelola APBD, tapi juga punya komitmen pada pemberdayaan dan penguatan masyarakat bawah. Yang tidak hanya pandai menyusun RPJMD, tapi juga berani menyapa Mama-mama Papua di pasar dan tahu bagaimana harga pinang bisa mempengaruhi ekonomi rumah tangga mereka.
Pemberdayaan dan Daya Saing: Dua Sayap Otonomi
Daerah yang maju bukan hanya yang punya banyak Mall dan jalan Tol, tapi yang rakyatnya merasa diperhitungkan, dilibatkan, dan didengarkan. Pemberdayaan adalah esensi dari otonomi: mengangkat suara yang kecil, memperkuat kaki yang lemah, dan membuka ruang bagi kreativitas warga.
Kreativitas itu sudah ada. Lihat saja komunitas muda di Papua yang menciptakan konten digital dalam bahasa daerah, koperasi perempuan yang memproduksi kerajinan tangan, atau petani kopi di pegunungan tengah yang mulai menjual produknya hingga ke Eropa.
Yang dibutuhkan adalah keberpihakan. Sebab daya saing daerah tidak lahir dari proyek mercusuar, tapi dari sistem yang adil bagi semua. Pendidikan yang terjangkau, pelatihan yang relevan, akses ke modal usaha, dan birokrasi yang tidak mematikan semangat warga.
Otonomi seharusnya menjadi bahan bakar bagi daya saing lokal. Daerah harus didorong menjadi pemain global dengan wajah sendiri, bukan sekedar fotocopi Jakarta.
Keberagaman dan Kerja Sama: Bukan Retorika, Tapi Nafas Bangsa
Indonesia adalah negara yang disusun dari perbedaan. Maka mengelola keberagaman bukan pilihan, melainkan keharusan. Otonomi memberi ruang agar daerah bisa merayakan jati dirinya: bahasa, tarian, hukum adat, dan kearifan lokal yang telah hidup jauh sebelum republik ini diproklamasikan.
Di Papua, adat bukan musuh hukum. Justru ketika adat dihargai, pembangunan menjadi lebih bermakna. Tapi semua itu hanya bisa terjadi jika ada komunikasi yang terbuka antara pemerintah pusat dan daerah, antara aturan formal dan nilai-nilai lokal.
Otonomi bukan sekadar izin untuk berjalan sendiri, tapi undangan untuk membangun bersama. Kerja sama antar daerah, antara kabupaten dan provinsi, antar Pulau , Lembah dan Gunung, adalah fondasi untuk menyatukan mimpi Indonesia.
Refleksi Papua: Dari Pinggir Menjadi Pusat
Papua selalu disebut, tapi sering tak benar-benar dilihat. Otonomi seharusnya menjadi pintu masuk untuk membawa Papua dari pinggiran menjadi pusat perhatian. Tapi untuk itu dibutuhkan strategi kebijakan yang tidak seragam, dan aparatur daerah yang benar-benar paham konteks lokal.
Dalam konteks ini, pengangkatan Ibu Suzana Wanggai sebagai Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Papua menjadi penanda penting.
Ia bukan sekadar pejabat Administratif, tetapi simbol dari semangat baru dalam pengelolaan pemerintahan di Bumi Cenderawasih. Sebagai Perempuan Papua yang lama bergelut di Sektor Kebijakan Publik, Ibu Suzana diharapkan menjadi jembatan antara nilai Adat dan tata kelola modern, antara suara rakyat dan mekanisme negara.
Di tangannya, kita titip harapan agar pelayanan publik lebih inklusif, tata kelola lebih bersih, dan pembangunan lebih merata. Karena wajah otonomi ada di pundak para pemimpin daerah, dan keberhasilannya ditentukan oleh integritas, bukan sekadar jabatan.
Kita Belum Sampai, Tapi Kita Bisa
Hari ini, ketika kita menuliskan angka ke-29 di depan kata Otonomi, kita harus jujur: kita belum sampai. Banyak janji belum ditepati, banyak kesenjangan belum dijembatani, banyak suara rakyat yang belum didengarkan.
Namun harapan belum padam. Masih ada peluang, masih ada ruang, masih ada waktu. Dan selama itu ada, kita punya tanggung jawab untuk terus menagih janji: bahwa negara akan hadir, bahwa daerah akan berdaya, dan bahwa rakyat akan sejahtera.
Selamat Hari Otonomi Daerah ke-29
Selamat bertugas kepada Ibu Suzana Wanggai, Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Papua.
Semoga Otonomi bukan hanya Nama dalam agenda Birokrasi,
tapi nyala terang di langit Papua,
yang menari nari dan tak lagi hanya menjanjikan.