Data Terbaru: IPM Papua Terendah, Filep: Bukti Pembangunan Terpenting Bukan Infrastruktur dan DOB
PAPUA BARAT,Saireri.Com– Tanah Papua dengan kekayaan alam berlimpah tentu menjadi harapan besar bagi terwujudnya cita-cita kesejahteraan masyarakat Papua. Seolah menjadi kontradiksi, beragam persoalan justru masih terjadi di wilayah paling timur Indonesia itu hingga hari ini, mulai dari pro-kontra masyarakat atas pembentukan DOB Papua, hingga konflik bersenjata yang masih terus berlangsung di sejumlah daerah.
Bahkan, persoalan-persoalan mendasar seperti masalah pendidikan dan kesehatan tak juga terselesaikan. Mayoritas desa-desa tertinggal masih ada di wilayah Papua-Papua Barat hingga Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kedua provinsi ini selalu menjadi yang terendah secara nasional.
Senator Papua Barat Filep Wamafma menilai, kondisi ini layaknya sebuah paradoks dan teka-teki. Mengapa hingga kini tanah Papua masih bergejolak dan beragam persoalan tak kunjung terselesaikan.
“Jika sudah ada yang menyatakan keberhasilan pembangunan, mengapa Papua selalu menjadi Provinsi termiskin? Mengapa Indeks Pembangunan Manusia-nya selalu terendah? Mengapa pendidikan dan kesehatan selalu berjalan lambat? Kemana hasil kandungan emas dan tambang lainnya diperjualbelikan? Dan lagi, mengapa masih ada perang di Papua sampai saat ini, saat dimana berbagai daerah di belahan negara Indonesia sudah berpikir tentang Revolusi 4.0?” ungkap Senator Filep Wamafma, Minggu (12/6/2022).
Senator Papua Barat ini menyampaikan, penanganan persoalan Papua harus menyentuh pada akar persoalan yang ada. Menurutnya, pemerintah sudah selayaknya terbuka terhadap permintaan pelurusan sejarah terkait integrasi Papua ke NKRI.
“Secara de jure, tentu saja Papua milik Indonesia. Namun secara de facto, permintaan akan pelurusan sejarah sampai pada Pepera, patutlah dihargai, di negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Apakah Pepera itu untuk meloloskan Kontrak Karya Freeport? mengingat Soeharto sudah menerbitkan Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967? Semuanya seperti informasi yang berkabut dan penuh misteri,” katanya.
“Sesungguhnya tidak ada alasan ketakutan tertentu untuk dibuka, setidaknya agar generasi muda Papua dapat melihat sejarah sebagai milik bersama, bukan sebagai milik penguasa.” sambung Doktor Lulusan Unhas ini.
Selain itu, sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua terhadap OAP juga masih menuntut keadilan sepenuhnya dari pemerintah. Diantara kasus-kasus itu seperti Kasus Biak Berdarah, 6 Juli 1998, Kasus Wasior Berdarah, Juni 2001, Kasus Wamena Berdarah, April 2003, Kerusuhan Universitas Cenderawasih, di Jayapura 16 Maret 2006, Kasus Paniai Berdarah, di Enarotali, 8 Desember 2014, Kasus Deiyai pada 1 Agustus 2017, Kasus Nduga, 2 Desember 2018.
Filep juga menyebutkan, catatan pelanggaran HAM itu juga disampaikan dalam catatan Amnesty Internasional hingga Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Mayoritas kasus terkait pelanggaran hak atas hidup, sebanyak 15 kasus, khususnya di daerah yang sedang mengalami konflik politik, seperti Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang.
Catatan-catatan atas berbagai persoalan HAM tersebut bahkan telah dibahas oleh para pelapor khusus HAM PBB. Hingga di tahun 2021 Pemerintah Indonesia telah menerima komunikasi dari mekanisme Dewan HAM PBB, Special Procedures Mandate Holders/SPMH. SPMH meminta klarifikasi dan penjelasan mengenai sejumlah kasus dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, penyiksaan, dan pemindahan paksa di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Terbaru, adanya sebuah desakan dari LBH Papua hingga Komnas HAM kepada pemerintah untuk segera melakukan audit terhadap BIN terkait pembelian mortir Serbia. Akan tetapi Filep memandang penegakan hukum terkesan tidak tegas atas persoalan-persoalan tersebut.
“Semua pelanggaran HAM di atas, tidak berjalan linear dengan penegakan hukum dan peradilannya, yang terkesan mati suri. Tarik ulur penyelesaian berbagai kasus di atas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung harus segera dilihat titik temunya. Sulit diterima akal sehat jika semua kasus di atas seolah dipeti-eskan. Lalu di mana rasa keadilan itu?” jelasnya.
“Yang menyedihkan, solusi Pemerintah yang terlihat hanyalah pembangunan infrastruktur. Bagaimana orang bisa makan-minum-sekolah kalau masih ada perang? Bagaimana orang bisa tidur nyeyak kalau masih lihat senjata dimana-mana? Belum lagi kalau dikaitkan dengan trauma psikologis generasi muda Papua yang harus memendam kebencian dari masa ke masa. Luka histroris OAP sulit disembuhkan, selama Tanah Papua selalu menjadi medan konflik!” ungkap Dr. Filep.
Selain itu, muncul hasil kajian sejumlah LSM yang menemukan indikasi adanya hubungan antara operasi militer di Papua dengan konsesi perusahaan tambang di Papua. Temuan ini juga membawa nama sejumlah pejabat tinggi dan persoalan ini berujung pelaporan terhadap pembela HAM.
Belum lagi, sejumlah oknum aparat keamanan justru terbukti terlibat jual-beli senpi dan amunisi di tanah Papua. Hal ini seolah mengisyaratkan konflik bersenjata di Papua tak akan pernah berakhir.
Di sisi lain, menurut Filep, bukannya berfokus menyelesaikan persoalan mendasar, pemerintah justru getol melakukan pemekaran yang apabila bercermin pada pengalaman sebelumnya telah banyak terfokus pada penyiapan dan pembangunan infrastruktur. Selanjutnya, pemekaran wilayah ini juga berbarengan dengan sejumlah program strategis nasional yang jelas membutuhkan biaya yang besar.
“Untuk saat ini, yang terpenting bukanlah memekarkan DOB. Yang terpenting ialah menyelesaikan persoalan keadilan dan kekerasan diskriminatif-spiral dalam bentuk penegakan hukum terhadap HAM, dan menyelesaikan persoalan kesejahteraan pendidikan-kesehatan OAP dalam bentuk penggunaan dana Otsus secara tepat sasaran dan pemberlakuan pengawasan serta evaluasi yang terintegrasi.
“Melihat rentetan peristiwa di tanah Papua, kita patut bertanya. Apakah Papua (sengaja) dijadikan medan konflik? Apakah ada agenda terselubung di balik ini semua?” ungkap Filep Wamafma.