Fakta: Gereja di Papua membisu dan mengidap demam ketakutan

GEREJA BENTENG TERAKHIR BAGI UMAT MANUSIA
“58 Sinode harus berdiri bersama umat tertindas, bukan berdiri bersama penguasa yang menindas dan bukan menjadi juru kampanye politik praktis. Politik praktis bukan domain Gereja”.
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Ada dua pertanyaan kunci kepada 58 Sinode sebagai berikut.
( 1) Dimana suara 58 sinode selama ini atas penderitaan dan ketidakadilan yang dialami umat Tuhan di Tanah Papua?
(2) Apakah 58 sinode secara bersama-sama dan kolektif pernah bersuara untuk kasus Biak berdarah 6 Juli 1998, Abepura berdarah 7 Desember 2000, Wasior berdarah 13 Juni 2001, Wamena berdarah 3 April 2003, Paniai berdarah 8 Desember 2014, penghilangan sopir alm. Theys Hiyo Eluay, alm. Aristoteles Masoka, dan mutilasi empat warga sipil di Timika pada 26 Agustus 2022 dan masih banyak lain?
Persoalan ketidakadilan dan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti inilah yang menjadi tugas 58 sinode di Papua Barat dan bukan mengurus politik praktis yang bukan tugas gereja.
“Kita sebagai gereja harus berada di samping orang-orang tersingkir, kalau tidak, pekerjaan kita sia-sia!” (Pdt. F.J.S. Rumainium).
Pernyataan iman Ketua Sinode GKI yang pertama ini disampaikan kepada mitra kerja misionaris asing pendeta Dr. Sigfried Zoelner yang ditugaskan di Pos Penginjilan Anggruk. Pesan iman dan moral dari bapak saksi kudus dan orang-orang beriman ini dapat diabadikan dalam buku “Bersatu Dalam Tuhan-GKI-TP 60 Tahun 1956-2016, hal. 79).
Apa yang diwariskan Pdt. F.J.S. Rumainum adalah warisan rohani sesuai pesan Tuhan Tuhan Yesus Kristus. “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-19). Karena, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yohanes 10:10).
Firman Tuhan ini dalam dua konteks. Konteks rohani berarti Iblis datang untuk mencuri, membunuh dan membinasakan orang-orang yang beriman dan percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.
Lalu konteks dalam realitas yang dialami rakyat Papua, dapat ditafsirkan bahwa penguasa kolonial Indonesia datang sebagai pencuri, pembunuh dan pembinasa rakyat Papua. Itu fakta yang sulit dibantah.
Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, gembalanya rakyat Timor Leste pernah berkata:
“…dalam realita kalau sudah menyangkut martabat pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional” (1997:127).
Uskup Dom Helmer Camara (Brasil) menyatakan imannya: “Gereja menjadi satu-satunya organisasi publik yang tidak dikendalikan langsung oleh kediktatoran. Harapan para tahanan politik didasarkan pada Gereja, satu-satunya institusi di Brasil yang tidak dikendalikan oleh negara militer.” (2000:16,19).
William Wilberforce pernah menegaskan:
“Hanya orang-orang yang benar-benar bertobat yang dapat dipercaya untuk memperjuangkan keadilan demi kedamaian permanen dan kesejahteraan umum…Biarlah saya senantiasa mengingat bahwa kewajiban saya selama di dunia bukanlah untuk berdoa saja, melainkan untuk bertindak untuk martabat manusia sebagai gambar Allah.” (2003).
Theo P.A. van den Broek OFM dan J.Budi Hernawan, OFM pernah menyatakan:
“…bukan hanya perlu, tetapi merupakan keharusan Gereja untuk terlibat dalam misi pembelaan dan perlindungan terhadap manusia agar hak-hak dasar masyarakat diakui, dihormati, dan diutamakan.” (2001:111).
Pdt. Dr. Benny Giay pernah mengungkapkan:
“Orang Papua tidak bisa menunggu di ruang tunggu bahwa kemajuan, perubahan dan keadilan itu datang dari Jakarta, Amerika, Australia, atau turun sendiri dari surga. Tapi kita harus bergerak menggunakan semua potensi dan lilin kecil yang ada pada kita masing-masing. Gereja merupakan satu-satunya organisasi, satu-satunya institusi, yang hidup bersama masyarakat. Masyarakat mengetahui hal itu; Gereja telah menjadi bagian dari kehidupan nyata. Gereja menjadi satu-satunya agen yang melaluinya orang-orang dapat mengetahui dunia. Saya pikir gereja ada untuk membantu hak-hak masyarakat!” (Farhadian, 2007:43).
Uskup Mrg.Leo Laba Ladjar, OFM menegaskan:
“Rakyat Papua sudah bertekad berjuang tanpa kekerasan tetapi melalui perundingan dan diplomasi, dengan cara damai dan demokratis. Sikap yang amat simpatik itu harap tidak dijawab pemerintah dengan bedil, bom, dan penjara. Tanggapan untuk suatu dialog yang demokratis, adil, jujur, pasti, sekaligus juga meredam usaha-usaha para privokator yang tidak henti-hentinya memancing kekerasan entah dari pemerintah/militer atau pihak-pihak rakyat Papua.” (Neles, 2009:16).
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno mengungkapan:
“…Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia….Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” “…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (2015 : 255, 257).
Melihat situasi kemanusiaan yang buruk, tidak normal, tidak beradab dan memalukan serta luka membusuk ditubuh bangsa Indonesia yang ditimbulkan oleh RASISME dan KETIDAKADILAN, Dewan Gereja Papua meminta Negara Republik Indonesia segera menyelesaikan 4 akar persoalan. Untuk itu Dewan Gereja Papua kembali menegaskan Surat Pastoral kami tertanggal 26 Agustus 2019 dan 13 September 2019 sebagai berikut.
1. Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
2. Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13 September 2019).
Adapun seruan-seruan Pimpinan Gereja dan Agama di Papua secara terus-menerus kepada Pemerintah Republik Indonesia berunding dengan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral.
3. Ada seruan bersama dari Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode pada 28 Juli 2009 sebagai berikut:
“Pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan Dialog Nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral.”
4. Para Pimpinan Gereja di Tanah Papua pada 18 Oktober 2008 menyatakan keprihatinan: ” Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan.”
5. Konferensi Gereja dan Masyarakat Papua pada 14-17 Oktober 2008 menyerukan: “Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi Otonomi Khusus No.21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi ‘separatis, TPN, OPM, GPK, makar’ dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang-orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan.”
6. Gereja-gereja di Tanah Papua pada 3 Mei 2007 menyatakan: “Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan maka solusinya dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia.”
7. Pimpinan Agama dan Gereja dalam Loka Karya Papua Tanah Damai pada 3-7 Desember 2007 mendesak Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak.”
Selamat Membaca. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 14 April 2025
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja Pasifik (PCC).
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
Kontak: 08124888458