Toni V. Mandawiri Wanggai*
Pemerhati Sosial

Jayapura,Saireri.com – Nabire menjadi tempat berkumpulnya para Gubernur dari enam provinsi di Tanah Papua, 15 April 2025. Pertemuan ini bukan hanya agenda administratif, melainkan sebuah momentum strategis yang dinantikan banyak pihak—sebuah ruang untuk konsolidasi arah pembangunan yang lebih kontekstual, partisipatif, dan berakar pada realitas kehidupan masyarakat Papua.

Namun di tengah ekspektasi itu, publik juga menyuarakan tanya: Apa urgensi dan arah dari forum ini?
Apakah ia hanya akan menjadi seremoni yang diulang tanpa dampak nyata, atau sungguh-sungguh menjadi tonggak penting untuk menyelaraskan pembangunan dari akar hingga pucuk?

Untuk menjawab itu, pertemuan ini perlu berpijak kokoh pada dokumen perencanaan pembangunan daerah. Tanpa landasan tersebut, arah pembangunan rentan melayang dan tercerai dari kebutuhan riil masyarakat.

Dalam teori perencanaan pembangunan, dokumen seperti RPJMD, Renstra OPD, hingga peta spasial wilayah bukan sekadar formalitas birokrasi, tetapi wujud konkret dari evidence-based policy. Ia adalah hasil refleksi struktural yang memuat prioritas, strategi, dan target jangka menengah-panjang secara terukur.

Menurut Amartya Sen, pembangunan sejati bukan hanya peningkatan indikator ekonomi, tetapi perluasan kebebasan dan kapabilitas warga untuk menentukan hidupnya sendiri. Maka dokumen perencanaan tidak boleh disusun dari atas ke bawah semata, melainkan digali dari kebutuhan lokal—kampung, distrik, dan komunitas adat.

Tanah Papua masih menghadapi tantangan sosial yang kompleks. Struktur sosial adat yang kuat sering tidak diakomodasi dalam tata kelola pembangunan modern. Akibatnya, banyak program pusat gagal menyentuh kehidupan masyarakat kampung yang masih menjadikan kepala suku atau tokoh agama sebagai referensi utama.

Di sektor pendidikan, tantangan akses dan mutu masih menjadi momok. Banyak anak harus berjalan berjam-jam menuju sekolah yang minim tenaga pengajar, infrastruktur, dan fasilitas pendukung. Pendidikan belum menjadi alat mobilitas sosial, melainkan sekadar formalitas kelulusan.

Hal serupa terjadi di sektor kesehatan. Akses terhadap layanan dasar masih sangat terbatas, terutama di wilayah-wilayah terpencil. Angka stunting dan kematian ibu-melahirkan di beberapa kabupaten masih tergolong tinggi. Pelayanan dasar seharusnya tidak menjadi kemewahan yang hanya bisa dinikmati di kota-kota besar.

Pembangunan yang tidak memperhitungkan budaya dan struktur lokal akan kehilangan daya dukung sosial. Papua memiliki ratusan bahasa, sistem nilai, dan model kepemimpinan adat yang unik. Ini seharusnya menjadi bagian dari strategi, bukan hambatan. Menghargai budaya lokal bukan hanya soal simbolisme atau pakaian adat dalam acara resmi, tetapi menyusun kebijakan yang berdialog dengan identitas masyarakatnya.

Begitu pula dengan pemberdayaan masyarakat kampung. Pembangunan seharusnya dimulai dari bawah, dari mama-mama yang berdagang di pasar, dari kelompok tani dan nelayan kecil, dari usaha mikro yang menopang ekonomi keluarga. Bantuan sosial dan intervensi pemerintah harus diimbangi dengan upaya sistematis menciptakan kemandirian dan daya tahan ekonomi lokal.

Kesenjangan antara wilayah urban dan rural di Papua semakin mencolok. Daya beli masyarakat menurun karena kenaikan harga kebutuhan pokok dan minimnya perputaran ekonomi lokal. Pembangunan infrastruktur penting, tetapi tanpa ekonomi rakyat yang bergerak, hasilnya hanya menumpuk di kota dan elite ekonomi.

Pertemuan para Gubernur di Nabire harus menjadi ruang untuk menyuarakan masalah ini ke tingkat nasional. Ini bukan soal menolak program strategis nasional, melainkan memastikan bahwa program tersebut selaras dengan konteks dan kebutuhan riil masyarakat Papua.

Beredar informasi bahwa Presiden akan bertemu para Gubernur se-Tanah Papua semakin memperkuat posisi strategis pertemuan Nabire. Namun justru karena itu, forum ini tidak boleh dimanfaatkan semata untuk menyiapkan legitimasi atas proyek nasional. Ia harus menjadi forum artikulatif, menyuarakan realitas sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Papua secara jujur dan berani.

Kita menaruh harapan kepada para Gubernur, bahwa mereka bukan hanya menjadi penerima instruksi, tapi juga juru bicara masyarakat di kampung-kampung yang jauh dari sorotan. Suara mereka di Nabire adalah gema dari suara rakyat yang selama ini terlalu pelan untuk didengar di pusat kekuasaan.

Akhirnya, pembangunan sejati di Tanah Papua tidak bisa hanya diukur dari jalan yang dibuka atau jembatan yang dibangun. Ia harus diukur dari berapa banyak warga yang merasa diikutsertakan, dilibatkan, dan dimanusiakan dalam prosesnya.

Dan Nabire—bila dijalani dengan niat dan arah yang benar—dapat menjadi awal dari perjalanan panjang keadilan pembangunan di ujung timur republik ini.

Redaksi Saireri.com

Redaksi Saireri.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *